21 Nov 2012

Remember all of the first moments?




The first time you succeeded in riding your bicycle,
The first time in your life that you have ever tried learning how to swim,
The first time of you knowing how to read and write,
The first time, the first time..


The first time you fell in love.. Yes, your first love. Do you remember?
Was it the boy/girl who sat next to the window? Or was it the boy/girl who sat next to you? 
Me? He's the boy who sat at the back of the class. *chuckle*


Unfortunately, after 4 years of silently having a crush on that boy, I experienced another first moment of mine; the first time of me getting my heart broken. Haha.
P/S: Don't worry, I'm not going to be all cheesy wedges here. The significance of me telling that particular first moment is because, that is also the beginning of my turning point. 


Yes, turning point of my changes. 
(Aisehmen, belum cukup angel pun lagi sebenarnya. Hahaha)








...I was looking outside the window as I reflected on myself and what I had been through. Yes, very dramatic. Haha. I said to myself, "I never thought that loving someone would be this painful." Waiting wasn't easy, you know. Especially when you waited for 4 years and you ended up frustrated. 4 years was a long time, not to mention how long it felt like when you spent it, waiting. 


That was also the moment that I began to realized, "At the end of the day, only Allah stays with me. At the end of the day, only Allah who will endlessly and infinitely love me. Allah, just Allah. Allah will never hurt me, never. At the end of the day, He's the one who's still there, because He is indeed everywhere. And He never leaves. That is how much Allah loves me. But the question is, how much have I done for Allah, how much love have I offered Allah, what have I done for my love towards Allah? Nothing. I'm too occupied with my love towards human, I forgot that true love is indeed Allah. I was too busy waiting for someone, I forgot that Allah has been waiting for me all this time. If 4 years is long, imagine all those years that Allah has never given up on me, continue waiting for me. I forgot Him, I forgot. I forgot that above all, Allah should be  the first one, Allah should be on top of the list of our beloved."


I burst into tears.


Remember those moments when you did wrong and suddenly someone gave you a slap on your face? That's how I felt like. Felt like having a slap, a hard slap on my face. Because only then I began to realize that true love belonged to Allah.


The first time I got my heart broken, I felt so broken and lost. Mending my heart, trying to put my life back to pieces, only then I realized that the only one who can mend my heart was Allah and the only one who had given me purpose in life was Allah. I didn't live merely because of a guy's love, I lived because of Allah's love towards me. Life is a blessing, a gift from Allah. So, based on what reason should I be ruining that gift for someone else? Especially for someone who didn't stay for you whereas Allah's always there. It's not worth it.







Ever since that, I walked slowly towards Allah. Because I love to read, I began with teaching myself on reading religious materials. When in the past I only read English teen novels and sometimes, Malay novels (mostly, the cintan-cintun type. Hahaha). From someone who loved punk rock music (yes, it might be hard for you to believe), I began to teach myself to listen to nasyid songs, which I found so weird to my ears at first. Then, I trained myself to cover my aurah properly. I began wearing socks whenever I went out from the house. Because I used to feel very uncomfortable wearing it, so I started with the very thin socks and alhamdulillah, now I can wear even the very thick ones with ease. I used to feel uncomfortable wearing it, but now I feel uncomfortable NOT wearing it. Haha. Alah bisa tegal biasa whaaaattt?? Ehehe.


On top of everything, I'm still walking towards Him though. I always remind myself, "Never stop walking." The only moment when I should stop walking is the moment when I finally meet Him (inshaAllah), which is for sure in the Hereafter. People say, "Dream high!" So, I dream to meet Him. Because nothing is higher than Him. So what kind of dream would be higher than that, what kind of dream could possibly beat meeting Him? None.


Allah says, "Take one step towards me, I will take ten steps towards you. Walk towards me, I will run towards you." (Hadith Qudsi)


Therefore, let's continue walking. One step at a time. Takbir! 










Learn to love Allah and you'll know what love is.

19 Nov 2012

Aku mencintaimu kerana Allah.


Ahmad dan Muhammad masih belum pulang dari solat Subuh. Fatimah yang sudah siap menyediakan roti gandum dan susu yang diagih-agihkan semalam, menoleh melihat cahaya mentari pagi yang masih malu-malu untuk mempamerkan dirinya menerusi tingkap yang tiada berkaca. Bau asap ledakan masih kuat menusuk ke hidung. Tapi dia sudah biasa. 

Sekian lama sudah mereka menderita sebegitu. Mata bulatnya menyoroti Sofya, gadis sunti 15 tahun mereka sedang sibuk menyapu. Habuk memenuhi ruang. Seakan tiada guna lagi untuk disapu. Kadang-kadang Sofya berhenti sekejap untuk memasukkan untaian rambut yang terkeluar ke dalam tudung yang sudah lusuh itu.

Salam dari luar disambut. Terpacul wajah Ahmad dengan senyuman manis, sambil menggendong Muhammad yang tertidur di bahunya. Dia membalas senyuman Ahmad, cinta hatinya. Dia sudah berjanji untuk mencintai lelaki itu sepenuh hati sejak kali pertama lelaki itu melafazkan akad ke atasnya.

Muhammad dibaringkan di atas selimut tebal berwarna coklat. Entah, adakah memangnya selimut itu berwarna coklat atapun telah dinodai dengan warna tanah, habuk yang memenuhi segenap ruang mereka sekarang.

"Mereka perlukan tenaga lebih. Israel Laknatullah semakin agresif."

Fatimah diam. Bibirnya digetap kuat. Tiada balasan. Dia meletakkan periuk yang sudah penuh dengan lekukan dan hitam hangus berisi roti gandum di hadapan Ahmad bersebelahan dengan segelas susu.

"Fatimah..."

"Roti itu sedikit hangus. Aku mungkin terlalai seketika ketika memasaknya tadi." Sengaja dia membelakangi suaminya, menyusun pinggan yang lain.

Ahmad memandang kosong roti yang sudah sejuk. Dia menarik nafas panjang lalu dilepaskan perlahan.

"Ini perjuangan kita, Fatimah. Ini perjuangan untuk agama, untuk maruah negara, untuk Palestin." 

Diam.

"Untuk kita."

Matanya dipejam. Suara Ahmad. Perlahan, tetapi penuh semangat. Kecuali ayat terakhir itu. Lirih dan sayu. Hatinya sebak.

"Aku tidak mahu kehilangan kamu, Ahmad." Tersekat-sekat dia melafazkan. "Aku hampir kehilangan kamu. Dan aku tidak mahu itu terjadi lagi."

Mata Ahmad menuruni tangan kanannya yang tiada. Ya. Dia menjadi kudung, kerana tangan itu dihimpit dinding rumah ketika rumah lama mereka menjadi mangsa ledakan bom. Masih dia ingat si isteri tercinta yang sedang mengandungkan anak kedua mereka, menangis tidak bersuara menjaga dirinya dengan sabar, saban waktu. Dia tahu betapa besarnya ketakutan Fatimah untuk kehilangannya. Tetapi apa yang dilakukan itu bukan untuk kepentingan diri semata. Ini kerana jiwanya pada Islam. Pada pertahanan negara mereka. Maruah negara, maruah mereka. Tiada yang akan faham tentang itu sehingga mereka yang lain merasakan apa yang sedang warga Palestin rasakan sekarang.

"Fatimah..." Perlahan dia mengambil tangan sang isteri. Urat-urat timbul, menghiasi jemari lesu yang banyak berjuang. Digenggam erat jemari itu, penuh kasih sayang.

"Apakah kau lupa Allah amat menyayangi kita? Aku yakin, dan pasti. Apa yang kita lakukan ini akan dinilai sebaiknya oleh Dia. Kau seharusnya tidak perlu gentar. Perjuangan ini, perjuangan kita. Aku percaya saudara Islam kita yang lain juga turut mendoakan kita, membantu kita. Mereka tidak akan membiarkan kita sengsara di sini bersendirian."

"Bagaimana kalau kamu ..." Ayatnya mati. Air mata mengalir di pipi.

"Fatimah, jika aku mati. Mati ku adalah mati syahid, Fatimah. Allah sudah janjikan itu. Bukankah kita percaya pada janji Dia? Dia tidak akan memungkiri janji. Aku tidak mahu mati katak di sini. Aku mahu pertahankan maruah kita. Aku tidak mahu disoal di akhirat kelak. Aku lakukan semuanya demi agama, demi negara, demi kamu."

Dagu Fatimah diangkat perlahan. Mata mereka bertemu. Mata wanita yang penuh ketakutan akan kehilangan. Mata sang pejuang yang penuh dengan kekuatan. Lama. Seolah mereka sedang membaca makna pandangan masing-masing.

"Fatimah."

Diam. Mata Ahmad meratah segenap wajah wanita yang paling dicintainya.

"Lahirnya Muhammad itu sebagai Mujahid kita. Lahirnya Sofya itu buat bangkitnya Mujahidah kita. Dan adanya kamu, sebagai kekuatan aku." Ahmad menarik tangan Fatimah ke dadanya. "Di sini."

Air mata semakin deras. Hampir dia tersedu-sedan. Wajah Ahmad semakin samar dek air mata yang bergenang.


"Fatimah, aku mencintaimu kerana Allah."

-------------------------------------------------

"Ummi."

Fatimah menoleh. Sofya sudah berhenti daripada menjahit pakaian Ahmad yang koyak.

"Apakah perasaan dicintai?"

Fatimah diam. Anakku. Mana mungkin kau dapat mengelak perasaan itu kan?

"Ummi sangat bertuah. Punya suami seperti Abi. Abi itu lelaki hebat. Mentaati perintah Allah. Semangatt jihadnya kuat. Dia sangat mencintai Allah." Sofya melepaskan nafas perlahan.

"Aku pernah berangan mempunyai suami seperti Abi."

Sang ibu merapati dara sunti nya. Kepala Sofya diusap lembut. "Sayang, ya betul. Abi mu adalah seorang yang hebat. Dan Ummi pasti kau akan mendapat suami yang hebat juga." 

Senyum.

"Dalam keadaan ini, Ummi. Adakah kami, anak-anak perempuan Palestin ini ada kesempatan untuk semua itu? Berpeluangkah kami?"

Fatimah menahan tangis. "Percayalah cakap Ummi, Sofya. Jika bukan di sini, kau akan bertemu jodohmu di syurga. Dan kalian akan hidup bersama buat selamanya."

Pelukan semakin erat. Terdengar esakan Sofya. 

"Ummi, tidak mengapa jika aku tidak punya suami atau mana-mana lelaki untuk dicintai. Kerana aku sudah mempunyai Ummi, Abi dan Muhammad. Aku sangat mencintai kalian. Kerana Allah." Tersekat-sekat Sofya melafazkan.

Tangisan yang tidak tertahankan. Hati Fatimah diruntun pilu. 

"Sofya, kau akan menjadi ketua bidadari syurga kelak. Teruslah yakin pada janji Allah, sayang."

---------------------------------------------------

Ahmad bersiap-siap sambil diperhatikan Fatimah. Dia sudah tidak mampu menangis. Dia cuma manusia biasa. Tiada yang sanggup membiarkan cinta mereka mengorbankan diri. Tapi ya. Ini perjuangan mereka. Ini tentang maruah mereka. Berkali-kali mereka mengadakan perjumpaan sesama mujahidin Islam, itulah yang disemat di dalam hati dan minda mereka.

"Muhammad," panggil Ahmad. Muhammad berlari anak ke arah Abi nya. Anak kecil 5 tahun itu terus melompat naik ke rangkulan Ahmad.

"Masih ingat tentang Muhammad al Fateh, Salahudan al Ayubi?"

Muhammad mengangguk-angguk.

"Muhammad mahu jadi seperti mereka? Hebat, gagah, dijanjikan syurga? Dicintai Allah?"

Angguk.

"Buktikan pada Abi, dengan menjaga Ummi. Boleh?"

"Abi mahu ke mana?"

Ahmad tersenyum. "Abi mahu pertahankan negara. Abi juga mahu menjadi seperti al Fateh dan pejuang Islam yang lain. Abi juga mahu dicintai Allah dan masuk syurga."

"Muhammad?"

"Muhammad pun boleh. Jaga Ummi pun akan dicintai Allah."

"Bila Abi akan balik?"

Ahmad diam. Air liur yang ditelan terasa seperti pasir. Senyuman sedaya-upaya diukir.

"In Shaa Allah. Abi akan balik juga untuk Muhammad, Ummi dan Sofya."

Muhammad diam. Ahmad memeluk erat anak kecil itu. Air matanya bergenang. Pipi Muhammad dicium berkali-kali.

"Abi sayang Muhammad."

"Muhammd juga sayangkan Abi."

Sofya berjalan perlahan ke arah Ahmad. Kepalanya tunduk menghadap lantai.

"Sofya..."

Sebaik mendengar namanya disebut, dia teresak-esak. Tubuh Ahmad dirangkul dan dipeluk kuat. Ahmad membalas pelukan.

"Ummi mu memberitahu aku tentang betapa kamu tertanya perasaan dicintai. Perasaan dicintai itu sangat indah. Apatah lagi jika yang mencintai kamu itu ialah insan yang kamu cintai juga. Tapi percayalah. Tiada yang lebih hebat berbanding mencintai Dia, dan dicintai Nya. Cinta Nya untuk kita tidak pernah akan padam. Soal jodoh, jika bukan di dunia, Dia telah siap menyediakan jodohmu di syurga. Percayalah."

Sofya tidak mampu berkata-kata. Dia cuma mengangguk-angguk.

Mereka menghantar Ahmad ke muka pintu.

"Abi, semoga Allah melindungi Abi. Aku bangga dengan Abi." Sofya bersuara setelah tangisannya reda.

"Aku juga mahu jadi seperti Abi!" Muhammad pula menambah.

Ahmad tersenyum. "Aku cinta kalian kerana Allah," lafaznya.

Dia menghadap Fatimah. Fatimah cuba menahan air mata dan mengukir senyuman. Hatinya redha. Suami nya berjuang demi maruah mereka. Dia harus berbangga untuk itu.

Perlahan Ahmad mencium kening sebelah kanan Fatimah. Lama. Penuh kasih. Fatimah menahan getar di hati. Sebak, kasih, cinta. Semuanya bersatu.

"Sayangku, aku mencintai kamu kerana Allah,"lafaz Fatimah.

"Aku juga."

"Jika kamu pergi dahulu, tunggu kami di syurga."

Ahmad tersenyum. " In Sha Allah, sayangku."

"Bismillah." Ahmad memulakan langkah.

Tiada lagi tolehan dari Ahmad. Dia terus berjalan meninggalkan keluarga tercinta. Dia sedih, sayu. Tetapi dia yakin. Yang Maha Kuasa telah merencanakan sesuatu untuk mereka. Dia yakin. Ini untuk kamu, Palestin. Ini untuk kita.

Perlahan susuk tubuhnya dihalang dimamah habuk dan asap.

"Aku akan menunggu kalian 'di sana', sayangku semua," Ahmad berbisik sendiri.

"Syurga untukmu, sayang," bisik Fatimah.

Dan langit Palestin masih hitam.

-------------------------------------------------

Dia terdiam. Matanya masih lama menatap skrin komputer. Air mata lelaki akhirnya jatuh juga. Apa usaha aku untuk mereka? Mereka itu dijanjikan syurga. Aku? Dosa ku bertimbun. Doakan mereka pun cukup berat? Apakah perasaan mereka meninggalkan keluarga? Bukan itu yang mereka pinta. Kesengsaraan itu hanya mereka yang rasa. Allah Maha Mengetahui.

Palestin diuji dengan Israel kerana mereka itu kuat. Tabah. Malaysia? Soal politik pun berpecah-belah. Mereka bermatian mempertahan agama, Negara mereka di sana. Di sini rakyat berpecah belah. Kerana fahaman politik sahaja. Untuk berbalah tentang nasib Palestin, nasib Islam di sini bagaiman? Di mana Islam di Malaysia? Siapa yang mahu pertahankan agama di Malaysia? Palestin ada rakyatnya yang cintakan Islam. Malaysia?

Di Palestin, Syria, Afghanistan dan negara Islam lain yang menderita, meskipun sedang solat mereka dibom, disiram air panas, dibakar, diseksa kerana mereka itu Islam mereka masih dengan aqidah mereka. Masih teruskan solat biar apa-pun terjadi. Di sini? Adakah mereka ingat lagi apakah itu "solat" ? Muslimah di sana menjaga aurat meskipun penuh asap, habuk akibat ledakan segalanya, tapi masih menjaga aurat sesempurnya. Di sini?

Geleng kepala.

Artikel itu dicetak keluar. Dia mahu anak-anaknya nanti baca. Juga isterinya. Matanya tertancap pada gambar yang berbingkai di sudut meja. Senyuman sang Isteri di dalam gambar membuatkan dia juga tersenyum saat itu. Dia tidak tahu adakah dia juga kuat seperti Ahmad? Untuk tinggalkan insan tercinta? Atau anak-anak perempuannya tabah seperti Sofya. Tidak kisah tentang kahwin, tentang cinta manusia. Kerana yakin cinta Allah lebih indah. Dia mahu anak lelakinya nanti bangkit dan membesar sebagai Mujahid Islam.

Jam tangan dipandang sekilas. Waktu rehatnya sudah habis. Ada ramai pesakit perlu diperiksa dan dipantau. Setakat ini, usahanya cuma berdoa dan menyumbangkan sedikit sebanyak untuk mereka. Jika ada peluang, satu hari nanti dia mahu ke negara-negara ditindas seperti Iraq, Palestin dan Afghanistan untuk memberi sumbangan perubatan. 

Semoga Allah izinkan.

Dia berdiri, menapak melewati meja yang ada tanda namanya yang dimulai dengan perkataan "Dr.". Langkah terhenti. Dia menoleh. Kotak burger Quarter Pounder yang dikirim Dr. Farouk tadi dipandang lama. Kotak itu dicapai, dan dipegang lama. Tidak perlu ragu. Ini usaha sekecil cuma. Allah yang akan menilai semua.

"Demimu saudara ku. Aku mencintai kamu kerana Allah."

Kotak bertanda M besar itu dibuang ke dalam tong sampah. Dia tersenyum. Langkah diatur semula. Pintu dibuka dan ditutup. Hospital masih sibuk seperti biasa. Dan tugasnya bermula, dengan semangat yang baru.




"Ini perjuangan kita."




18 Nov 2012

Aisya Humaira : Menatap dunia kali pertama

Aisya Humaira, anak kecil yang masih merah pipinya, matanya bundar seindah bulan purnama, tawa manjanya mampu mengubat mana-mana hati yang lara.

Dia berlari anak menuju ke arah ibunya sambil tangan kecil mulusnya itu menutup kedua telinga.
"Ibu, lihat tu! Banyak sungguh kapal di langit ibu! Mereka mahu ke mana ibu?" jerit kecil Aisya agar didengari ibunya, menewaskan kelantangan bunyi-bunyi sonic boom jet-jet pejuang yang melintasi mereka.

"Aisya, mahu ke mana sayang?" jawab ibunya yang sedang menjemur pakaian di halaman rumah

"Tidak ibu, Aisya hanya mahu bertanya kepada ibu. Kapal-kapal itu mahu ke mana ibu?"

"Oh..sejujurnya ibu pun tidak pasti sayang. Tapi ibu rasa itulah pejuang-pejuang Islam kita yang bakal berjuang di jalan Allah. Mereka akan ke Gaza sayang,"

"Mengapa ke Gaza ibu? Apa yang ada di Gaza ibu? Mereka ada saudara di sanakah ibu?"

Oh anakku, engkau masih mentah untuk mengetahui keadaan dunia. Tapi biarlah ibu menerangkan selembutnya kepadamu, agar tidak lenyap umat Islam yang masih mengambil cakna isu umat Islam ini.

"Aisya, mereka ke sana untuk berjihad sayang. Berjihad untuk membantu saudara-saudara kita yang ditindas, saudara yang tidak bertalikan darah, tetapi saudara yang bertalikan aqidah. Ketika ini mereka sedang dibunuh sayang, dibunuh kerana mempertahankan apa yang sepatutnya menjadi hak mereka,"

"Siapa yang membunuh itu ibu?"

"Mereka itulah kaum Yahudi sayang, menggelar diri mereka yang berhak ke atas tanah Israel yang sudah jelas di mata dunia sebenarnya hak milik anak-anak Palestin." jawab ibunya

Dia mendukung Aisya ke arah sepohon pokok kurma. Mereka berdua duduk di atas pangkin yang tersedia di situ. Kemudian mereka bersama-sama melihat keindahan ciptaan Tuhan di hadapan mereka. Melihat luasnya padang pasir yang dahulunya menjadi saksi perjalanan hidup Nabi Musa a.s

"Aisya, sesungguhnya Gaza itu telah lama berdarah. Namun hakikatnya, cinta yang kita beri kepada mereka hanyalah cinta bermusim. Mungkin membara hari ini, esok menjadi abu, lusa ditiup angin lalu menjadi debu dan hilang tanpa bekas. Lihat betapa rapuhnya pegangan umat Islam hari ini sayang'

"Bagaimana dengan saudara-saudara sebaya aisya di sana ibu?"

"Saudara-saudara Aisya ketika ini tidak sebertuah Aisya sayang. Ada yang telah kehilangan ibu ayah, abang kakak, malah ada yang tidak sempat mengetahui siapa ahli keluarganya kerana semuanya telah gugur syahid mempertahankan agama dan tanah yang mereka cintai.  Tatkala Aisya ketawa ria bermain mesra, anak-anak kecil disana membesar dengan membaling batu ke arah musuh, dan anak-anak ini jugalah yang akan membina roket mereka sendiri membalas segala ketidakadilan yang dilakukan Israel"

Perlahan, mutiara jernih mengalir di pipi Aisya

"Mengapa Aisya menangis sayang?"

"Aisya kasihankan mereka ibu. Banyak sungguh dugaan mereka. Tidak tertanggung rasanya andai Aisya sendiri mengalaminya"

"Jangan risau sayang. Merekalah antara insan-insan yang paling kental sekali di dunia ini. Biar saban hari jet musuh menghujani dengan bom-bom dari atas, tetapi mereka tetap percaya Tuhan lebih tinggi daripada jet-jet itu."

"Aisya berdoa semoga mereka beroleh kemenangan suatu hari nanti ibu"

"Sudah pasti sayang, sudah pasti"

"Ibu, di mana ayah ibu?"

"Ayah aisya di atas, tengah update blog. Katanya untuk blog I-Universal, entri tentang Gaza"

"Oooohh.." balas Aisya sambil mengukir senyuman

*************

15 Nov 2012

Isu Hangat: Kahwin

Kahwin. 

Perkataan yang simple

Definisinya ada banyak. Berbagai macam dan jenis. Takrifannya bergantung mengikut masyarakat, budaya, agama, dan pelbagai aspek lagi. Asasnya, kahwin itu adalah suatu proses mengikat perjanjian antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk hidup bersama sehingga ke akhir hayat, no matter what happen to them.

Gambar pinjam dari Google
Sebenarnya, bukanlah maksud kahwin itu yang ingin dijadikan topik. Tapi yang menjadi tumpuan dalam post ini adalah manusia-manusia yang selalu mengungkit perkataan ‘kahwin’ itu. 

Adalah normal untuk seorang manusia dalam lingungan usia 20 hingga 25 tahun memikirkan tentang kahwin. Ia merupakan salah satu perkara utama dalam hidup. Kerana semua manusia mempunyai fitrah ingin dikasih dan mengasihi. Tuhan sendiri ciptakan manusia menjadi lelaki dan perempuan supaya keduanya dapat saling berpasangan. Di sini pentingnya kahwin, supaya hubungan yang terjalin itu suci dan berharga. 

Tapi...

Ada sesuatu yang penulis ingin sampaikan. 
STOP DREAMING AND STAND ON REALITY. PLEASE. 

Bila seseorang itu sepanjang masa berfikir tentang kahwin, itu adalah tidak normal. Pagi fikir kahwin, malam fikir kahwin. Semalam fikir kahwin, esok lusa pun fikir kahwin juga. Seolah-olah di dalam minda mereka, kahwin itu adalah misi hidup yang paling utama. 

Senang saja untuk mengesan orang sedemikian. Bila dalam perbualan sehariannya, antara topik yang selalu keluar adalah topik kahwin. Sikit-sikit Aku nak kahwin dengan orang macam dia. Dalam Facebook pun macam tu juga, sikit-sikit share Sweetnye diorang muda-muda dah kahwin.

Tanya diri sendiri, adakah kita sudah betul-betul bersedia untuk berkahwin? Atau sekadar berangan-angan di lautan awan? 

Kebiasaan bagi orang yang semakin menghampiri pengakhiran zaman bujangnya, mereka akan menyediakan persiapan bagi menyambut kedatangan seorang insan baru dalam hidup. Antaranya, menyediakan kewangan yang stabil dan juga menyiapkan diri dengan ilmu agama.

Tapi kita ini? Indah angan dari realiti. Duit masih dibiaya oleh ibubapa, pinjaman ataupun biasiswa tapi sudah gatal mengimpikan kehidupan bahagia sang suami isteri. Ingat, kahwin itu bukan benda senang. Besar kosnya. Ya benar, majlis perkahwinan itu harus murah dan mudah. Tapi itu belum termasuk lagi kos selepas kahwin. Boleh jadi botak suami dan isteri bila sudah menyedari hakikat yang mereka sebenarnya agak tidak berduit. 

Belum masuk part ilmu agama lagi. Sebelum kahwin, semua nampak indah. Yang lelaki sanggup pakai kopiah, yang perempuan sentiasa berlembut suara. Tapi bila sudah berkahwin, mulalah keluar segala ‘wajah di sebalik topeng’. Sebabnya? Mereka berkahwin ketika mereka belum bersedia. Di mana segala kebaikan itu bukan dilakukan atas keinginan diri sendiri, tapi disebabkan ingin mengambil hati pihak yang satu lagi. In another word, tidak ikhlas.

Gambar pinjam dari Google
Itulah sebabnya, penting untuk berhenti bermimpi. Kalau kita tetap stick to our own fantasy world, sampai bila-bila pun persediaan tidak dapat bermula. 

Orang lain sedang berusaha buat yang terbaik dalam study mereka supaya kerja nanti dapat yang terbaik. Kita pula masih lagi duduk bersenang lenang membayangkan diri mendapat kerja yang baik dan kononnya hidup gembira dengan rezeki hasil pekerjaan. 

Orang lain mencari ilmu agama sebanyak mungkin untuk bekalan masa depan. Dan kita pula masih tersenyum seorang diri membayangkan betapa sweetnya dapat pasangan yang selalu ajak solat fardu berjemaah. 

Kalau begitulah diri kita, asyik berfantasi tanpa henti, sampai bila-bila pun kita tidak akan dapat kahwin. Sebab berfantasi menyebabkan kita terhenti daripada usaha mempersiapkan diri.

Maka sekali lagi, pesanan dari penulis, cukuplah. Cukup sudah. Misi utama kita sekarang ini bukanlah berfikir tentang kahwin, tapi persediaan itu yang perlu diutamakan. Kena ingat, persediaan yang baik mengambil masa yang lama. Kita perlukan masa yang banyak untuk membiasakan diri dengan sesuatu pembaharuan. Betapa cepat kita berkahwin, bergantung pada betapa cepat kita bersedia sebaik mungkin. Kalau lambat bersedia, lambatlah juga kahwinnya.

Oleh itu, jangan sia-siakan masa yang ada ini dengan asyik berfikir kahwin, kahwin dan kahwin. Otak manusia tidak dapat melakukan dua kerja pada satu masa. Instead of gunakan masa itu dengan berfikir tentang kahwin, lebih baik kita tumpukan pada persediaan dan self-improvement. 

Akhir kata, setiap kali mula timbul perkataan kahwin itu di dalam fikiran sebelum waktunya yang sesuai, sila ingat pepatah ini: Orang dungu bekerja di dalam mimpi, orang bijak bekerja untuk merealisasikan mimpi mereka.

Selamat menjadi bijak!

14 Nov 2012

Hijrah 2.0

Tentunya tipikal dan klise tulis entri pasal hijrah waktu tahun baru Hijrah. Then again, a reminder every now and then -- no matter how cliche it is -- is surely important.

Beberapa minggu kebelakangan ini aku rasa kosong tapi pada masa yang sama juga aku rasa berserabut. Hidup ini macam penuh dengan tanggungjawab, penuh dengan perkara yang perlu aku lakukan, penuh dengan karenah, penuh dengan manusia yang tidak mampu faham maksud kerja berkumpulan.


Dalam keserabutan itu juga aku sedar bahawa hidup ini penuh dengan ujian, supaya kita semua sedar dan tunduk -- agar masuk semula ke landasan yang sebenar.


Dalam keserabutan itu juga ada insan yang mengingatkan aku untuk perbaiki niat dalam setiap perkara, untuk sentiasa mengingati Dia -- Allahu Rabbi.


Maka, dalam keserabutan dan kekosongan itu juga, aku cuba bangkit dan melakukan hijrah: Kekosongan diisi dengan kecintaan mendalam terhadap Ilahi, keserabutan dileraikan dengan ketenangan jiwa yang tunduk dan patuh.


Hijrah 2.0 namanya.


Hijrah demi menundukkan nafs-nafs yang bergelumang dalam jiwa. Hijrah demi mengutuhkan iman dan takwa. Hijrah demi bergerak ke arah mardhatillah.


-- atas meja, bilik kawan. UKM.

11 Nov 2012

Pertama Tapi Terakhir..

Yang pertama mengazankanku, melindungiku, dan mengajarku Alif Ba Ta adalah Ayahku.. 
Alhamdulillah..
Yang pertama menciumku, menyusukanku dan mengasuhku adalah Ibuku.. 
Alhamdulillah..
Yang pertama membawaku bermain, memanggilku adik dan mengajakku mengaji adalah Abangku.. 
Alhamdulillah..

Dan aku adalah yang pertama dan terakhir mereka. Anak perempuan pertama dan terakhir. Adik perempuan pertama dan terakhir. Manisnya gambaran yang Allah lakarkan buat keluarga kecilku. Bersyukur kerana saat pertama kali mata terbuka, semuanya cukup tanpa ada kurang walau sedikitpun. 

Kini aku membesar dan terus membesar. Aku sentiasa menapak kehadapan hingga terlupa insan-insan ini juga semakin meniti usia. Bumi yang kupijak ini tidak wujud seandainya tiada insan-insan pertama dalam hidupku ini..Kecilnya aku diantara mereka bertiga. Terlalu banyak yang mereka korbankan. Pertama kali yang mereka berikan padaku selalunya indah namun bagaimana pula yang pertama kali aku berikan?

Setengah jam memikirkan perkara pertama yang manis dan baik pernah kuberikan namun seringkali terkubur kerana mereka telah memberikan yang lebih baik. Namun kurang seminit memikirkan perkara ini buat pertama kalinya aku tersentap? Bagaimana:

Pertama kali aku melawan kata mereka?
Pertama kali aku meninggikan suara.?
Pertama kali aku menipu?
Pertama kali aku menderhaka?

Tertampar dengan setiap persoalan bukan? Ya, sememangnya pipiku sudah pijar merah disini. Tertampar dengan soalan yang membuatku terfaktab bila disoal satu demi satu. 

Namun yang penting disini bukanlah bila pertama kali persoalan diatas aku lakukan. tetapi bilakah hari terakhirnya? :) Aku harus mengatakan hari ini bukan? Dan aku berharap kamu juga begitu. Seandainya sudah terlajak kelakuan pertama kalinya.. Janganlah terus melajakkan diri. Insan-insan ini bukan selamanya milik kita, bukan selamanya bersama kita dan kita tidak akan tahu bila terakhir kalinya kita untuk bersama mereka. 

Jadi, Terima Kasih Allah s.w.t kerana memberikan mereka kepadaku.

Allah s.w.t itu Maha Pemurah lagi Maha Pengampun. 
Maha Bijaksana dan Maha Berkuasa.


Permata Pertama.

Pepatah Melayu ada mengatakan, " Melentur buluh, biarlah dari rebungnya."

Amboi! Intro pun sudah macham karangan kertas satu Bahasa Melayu. Biasalah. Demam SPM. Doakan saya ya kawan kawan. *ahem*

Cuti yang panjang betul-betul membuatkan diri semakin rajin melawat laman sosial biru tua dan biru muda itu. Muka buku dan apa tu? Penciap? (Rujuk balik Google translate)

Bahasa fofular nya Facebook dan twitter. Tapi entah kenapa jemari ini lebih suka menari dan terlebih gembira acapkali melawat twitter. Baru-baru ini,ada seorang anak gadis berusia 14 tahun yang dahulu pernah menjadi finalis dalam sebuah program realiti kanak-kanak. Agak fofular juga rasanya. Idola Kecil. Tahu tak? Tidak? Itulah.Heh, samalah kita. Anyway, beliau kata sudah hampir 5 tahun meninggalkan program itu. Rindu rasanya. Kata sang peminat, beliau cantik, semakin dewasa semakin cantik. Rambutnya, wajahnya. Mengusik hati sang Adam, mulalah keluarkan ayat-ayat semanis gula-gula kapas, tanpa menyedari bahawa pakaian dalam masih ditaja oleh Pa dan Ma. 

Bukan. Ini bukan cerita mengaibkan. Hamboi. Cerita pasal orang saja laju nak baca. Bukanlah. Cuma hati rasa resah. Belai baru 14 tahun. Tapi tanya sahaja fasal make-up, pewarna rambut, artis itu, artis ini, crush sana, crush sini. Dari mana dia belajar semua ni? Ibu bapa? Agak mustahil, tapi boleh jadi. Ataupun, program tu? Program apa? Program tuuuu *muncungkan mulut*

Lihat keadaan sekarang. Bagaimana keadaan remaja kita. Kes "5 days mc" kalau ada yang tahu. Kes "cem*l*t di tepi jalan" dalam youtube. Kes "blog erotik". Kes buang anak. Kes zina. Kita lihat. Kita sedih. Kita risau. Tapi , apa tindakan kita? Remaja itu asalnya dari apa? Mereka tidak akan lahir terus-terus menjadi remaja. Kan? Harusnya jadi apa? Jadi anak-anak kecil. Kan? Okey kenapa tiba-tiba keluar slang Indonesia pulak. So anyway, ya. Cuba buka rancangan di televisyen. Rancangan untuk kanak-kanak bagaimana? Idola Kecil, Tom-tom Bak, Superstars, Kids Award. Ya. Diri ini tahu. Kenapa? Sebab media kita dipenuhi benda-benda ini. Kita tidak akan dapat lari. Inilah perkara yang berada di sekeliling kita. 

Ya, kita perlu mengawal diri. Bimbing diri. Tapi, anak-anak kecil itu, tahukah mereka apa ertinya mengawal diri? Membimbing diri? Jaman anda kanak-kanak dahulu. Ibu anda kata, "Pele, jangan kau mandi sungai sanaaaa." Terus anda kata, "pandai juga aku jaga diri aku makkk." Tapi betul kah anda pandai jaga diri? Ibu anda bawa ke kedai runcit Cina kudung (serius kedai ni ada. Di Sabindo, Sabah) dan berpesan dari awal, "Jangan macam-macam. Masuk kedai jak, jangan mengada mau beli itu ini." Anda kononnya akur. Tapi setelah diri itu masuk ke dalam kedai runcit ada ais krim, coklat, Keropok, Tora-tora segala. Mampukah anda kawal diri? Bimbing diri dan kata "Ugou, jangannn. Mama sudah pesan kan jangan mengada." Ketika umur 5 tahun? Tidak mungkin. Kita semua pernah berada di fasa itu dan semestinya kita tahu :)

Kenapa anak-anak kecil itu dididik untuk mencintai hiburan? Diajar untuk menyanyi, mengejar bakat kononnya yang cantik suara, pandai berlakon, pandai dalam peragaan, dan sebagainya. Nanti bila anak-anak itu menolak untuk belajar, marah. Di mana silapnya? Acuan kita kah? Mungkin kita terasa "ah, aku lambat lagi ada anak". Tidak. Adik-adik anda? Anak buah anda?

Anak-anak kecil lah permata kita. Permata yang pertama sekali. Kalau salah acuannya, salah lah semua. Kalau betul dan cantik acuannya, cantiklah hasilnya. Bukannya tidak boleh diubah. Boleh. Tapi kan lebih baik mencegah daripada mengubati? Mungkin ada yang berbalah, kata tidak semestinya kalau kecil warak, sudah besar akan terus jadi begitu. Jangan mudah mengalah. Belum cuba apa-apa lagi sudah menghukum. Didik sahaja sebaiknya. Sudah besar nanti, kalau dia tersalah jalan, anda telah melakukan yang terbaik. Hal itu adalah urusan dia dan Dia sahaja. Itu lain cerita. Kita anggap sebagai ujian buat kita, dan ujian terbesar buatnya.

Mata lagi sedap dan hati jadi seronok bila tengok Program Adik-adikku di RTM Tv1. Mendidik dan mentarbiyah anak-anak kecil itu menyelami jiwa muslim sebenar. Melahirkan Pendakwah cilik. Menyemai semangat jihad itu. Bagaimana berhadapan dengan orang ramai, siapa tokoh sebenar, apa panduan yang utama. Bukannya dengan cara "terimakasih peminat" tetapi dengan cara "terima kasih murabbi, terima kasih Ya Rabbi". Biar mereka kenal siapa "Muhammad bin Abdullah" sebelum mereka kenal siapa "Justin Bieber". Biar mereka kenal, fasih dan lancar membaca bait-bait surah Yaasin tanpa merujuk al Quran, sebelum mereka lantang menyanyikan lagu "Sudah cukup sudah". Biar mereka tahu apa itu erti mulia di sisi Allah dan manusia, sebelum terjatuh menjadi mulia di sisi manusia, hina di sisi Allah. Anak-anak itu suci. Lenturlah sebaiknya. Coraklah seindahnya. Seindah nama mereka :)

Percayalah, setiap kebaikan yang mereka lakukan hasilnya daripada acuan kita, akan ada saham nya di akhirat, yang akan dinilai seadil-adilnya <3

nota kaki :: teringat lagu ni, 

Tidak rugi kita berakhlak mulia
Malah Allah lebih-lebih lagi suka
beramal sopan kita sentiasa
Moga mendapat keredhaan Nya
Keredhaan Nyaaa

(kalau ada tersalah lirik, maafkanlah hamba)

9 Nov 2012

Cinta Pandang Pertama

Entah bila kali pertama saya melihatnya secara sedar. Apa yang saya tahu, setelah beberapa kali melihat wajah yang sama barulah hati ini benar-benar terpaut padanya. Barulah wajah yang biasa itu kelihatan seperti yang tercantik di dunia. Dan setiap kali berdekatan dengan dirinya, terasa seperti ada satu perasaan halus mengalir di dalam jiwa. 

Dialah insan yang pertama kali menimbulkan rasa cinta dalam hati ini. Rasa cinta yang memberi inspirasi untuk saya teruskan hidup sepanjang hari. Saat saya dilanda kesusahan, dialah yang berusaha membantu menyelesaikannya. Dia jugalah yang membantu menenangkan diri ini di saat genting.


Betapa pentingnya dia dalam hidup saya, sehingga langsung tidak dapat saya bayangkan apa bakal terjadi kepada hidup ini seandainya dia pergi dulu menyahut panggilan Ilahi yang terakhir.


Cinta pandang pertama, itulah cinta yang paling banyak sekali digandingkan dengan rasa ikhlas. Ia adalah cinta yang paling mahal. Paling sukar untuk dicari di dunia. Sekali pergi, pasti tiada lagi. Pesanan untuk yang sedang membaca, hargailah cinta pertama anda selagi masih ada. 





"Ibu, you will always be my first lover. Terima kasih lahirkan saya dengan rasa cinta~"

Pages

About